tautekno.id – Langkah mengejutkan datang dari Komisi I DPR RI yang tengah menggodok revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Selasa (15/7/2025), Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Oleh Soleh, melontarkan usulan kontroversial: setiap pengguna hanya boleh memiliki satu akun media sosial tanpa terkecuali.
Usulan ini disampaikan langsung di hadapan perwakilan dari raksasa platform digital seperti YouTube, Meta (Facebook dan Instagram), dan TikTok. Bagi Oleh, pembatasan ini adalah langkah tegas untuk menghentikan banjir konten ilegal yang merajalela di ruang digital.
Hapus Akun Ganda, Bersihkan Ruang Digital?
Dalam paparannya, Oleh menyebut bahwa fenomena “akun ganda” menjadi biang keladi berbagai masalah di media sosial mulai dari penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga manipulasi opini publik melalui buzzer.
“Hanya satu akun asli saja. Tidak boleh satu orang memiliki akun ganda, baik perusahaan, lembaga, maupun personal,” ujar Oleh tegas di forum RDPU.
Menurutnya, meskipun bagi perusahaan media sosial akun ganda bisa menguntungkan secara statistik dan bisnis, secara sosial hal itu justru merusak. Ia menyebut banyaknya akun palsu atau akun “ternakan” justru memperkuat narasi-narasi tidak sehat yang merugikan demokrasi dan akal sehat publik.

Serangan terhadap Buzzer dan Manipulasi Opini
Oleh juga menyinggung peran para buzzer yang kerap kali muncul dari aktivitas “ternak akun”. Ia menilai bahwa para buzzer ini justru memberikan sorotan pada pihak-pihak yang tidak memiliki kapabilitas, tapi memiliki “massa digital”.
“Buzzer itu hanya mengangkat orang yang tidak berkualitas. Ini bukan soal kebebasan berekspresi lagi, tapi manipulasi,” tegasnya.
Dengan membatasi pengguna hanya memiliki satu akun resmi, DPR berharap bisa meminimalisir potensi penyalahgunaan identitas, penipuan, hingga disinformasi masif.
Respons Platform: Kami Sudah Punya Aturan
Pihak platform pun tak tinggal diam. Kepala Kebijakan Publik Meta Platforms Indonesia, Berni Moestafa, menyatakan bahwa Meta sudah memiliki kebijakan yang menolak akun palsu dan mendorong otentisitas.
“Kami punya kebijakan otentisitas akun. Penggunaan lebih dari satu akun oleh orang yang sama adalah pelanggaran dan bisa langsung kami take down setelah ada laporan,” jelas Berni.
Namun, Berni memberi masukan bahwa pengaturan akun semacam ini lebih tepat masuk dalam revisi UU ITE, bukan dalam RUU Penyiaran yang lebih menitikberatkan pada konten siaran.
Serupa dengan Meta, TikTok juga mengklaim telah memiliki sistem moderasi dan panduan komunitas yang mengatur soal integritas akun.
“Kami punya panduan soal akun palsu. Tapi kami terbuka terhadap diskusi dengan DPR,” kata Hilmi Adrianto, Head of Public Policy TikTok Indonesia.
DPR Siap Paksa Lewat Undang-Undang
Meskipun mendapat respons dari para perwakilan platform, Oleh menegaskan bahwa jika tidak ada komitmen jelas dari penyedia layanan, maka DPR akan tetap memaksakan aturan larangan akun ganda dimasukkan ke dalam RUU Penyiaran.
“Kalau memang tidak ada kepastian soal SOP dari platform, ya kami akan paksakan masuk ke Undang-Undang. Kalau melanggar, bisa saja platformnya ditutup,” tegas Oleh dengan nada serius.
Revisi RUU Penyiaran: Menuju Regulasi Dunia Digital?
Rapat ini merupakan bagian dari proses pembahasan revisi RUU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang kini mulai menyentuh ranah platform digital, bukan sekadar siaran konvensional seperti radio dan televisi.
Beberapa poin krusial yang dibahas meliputi:
- Pengaturan konten digital lintas platform
- Keaslian dan identitas akun pengguna
- Batasan terhadap aktivitas ilegal seperti hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan digital
- Penindakan terhadap pelanggaran oleh penyedia platform
Akankah Dunia Digital Indonesia Lebih Bersih?
Usulan ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan: Bagaimana penerapannya secara teknis? Apakah semua pengguna bisa diverifikasi? Bagaimana dengan pelaku bisnis digital, kreator, dan pengguna yang memang butuh lebih dari satu akun?
Di satu sisi, langkah ini bisa menjadi cara untuk merapikan ruang digital yang kini kian bising. Namun, di sisi lain, jika tidak disiapkan secara matang, aturan ini bisa justru membatasi kebebasan berekspresi dan kreativitas digital.
Yang jelas, langkah DPR ini menandakan babak baru regulasi era digital di Indonesia dan dunia media sosial tidak akan lagi sama seperti sebelumnya.
(ata)