tautekno.id – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) terus menghadirkan tantangan baru, salah satunya melalui kemunculan konten deepfake yang semakin canggih dan menyesatkan. Deepfake, yang memanfaatkan algoritma pembelajaran mendalam (deep learning), mampu menciptakan video dan audio palsu seolah-olah berasal dari orang sungguhan, padahal konten tersebut sepenuhnya hasil rekayasa.
Kini, ancaman deepfake tidak lagi sekadar spekulasi masa depan. Penyalahgunaan teknologi ini sudah meresahkan dan menyasar kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menyatakan bahwa deepfake telah menjadi ancaman serius di ruang digital, yang tidak hanya mengaburkan kebenaran tetapi juga memperbesar risiko kekerasan berbasis gender.
Tiga Strategi Pemerintah Hadapi Ancaman Deepfake
Menanggapi kondisi tersebut, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan bahwa mereka telah menetapkan tiga strategi utama untuk melindungi masyarakat dari bahaya konten digital berbahaya, yakni:
- 1. Peningkatan literasi digital
- 2. Penindakan terhadap konten negatif
- 3. Regulasi khusus perlindungan anak
Dalam keterangan resminya, Nezar menegaskan komitmen Komdigi dalam menciptakan ruang digital yang aman untuk semua pengguna. Pemerintah aktif melakukan takedown terhadap konten berbahaya dan bekerja sama dengan aparat hukum dalam menangani kejahatan digital. Salah satu langkah konkret adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 atau PP TUNAS, yang mengatur sistem elektronik untuk perlindungan anak.

Lonjakan Kasus Deepfake dan Dampaknya
Data dari Sensity AI menunjukkan lonjakan kasus deepfake sebesar 550 persen sejak tahun 2019, dengan 90 persen kontennya digunakan untuk tujuan berbahaya. Mayoritas bahwa perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak. Di mana setidaknya 11 perempuan usia 15 hingga 29 tahun pernah mengalami kekerasan berbasis gender secara daring sejak usia muda.
Nezar menekankan pentingnya literasi digital sebagai keterampilan dasar, termasuk kemampuan untuk mengenali konten manipulatif, menjaga data pribadi, dan bersikap kritis terhadap informasi yang tersebar di internet. Menurutnya, teknologi AI seharusnya digunakan untuk menciptakan inovasi, bukan untuk merugikan sesama.
Kejahatan Deepfake Tak Hanya di Indonesia
Ancaman deepfake juga menjadi perhatian global. Di Inggris, Kepolisian Nasional bidang AI memperingatkan meningkatnya kejahatan digital yang menggunakan teknologi deepfake. Alex Murray, Kepala Polisi Nasional bidang AI, menyebut bahwa pelaku kriminal semakin kreatif dan memanfaatkan kemudahan akses teknologi AI untuk melakukan penipuan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi anak.
Salah satu contoh yang mengkhawatirkan adalah penggunaan video deepfake untuk menyamar sebagai eksekutif perusahaan dalam kasus penipuan berskala besar. Bahkan, teknologi generatif AI kini memungkinkan pembuatan ribuan gambar dan video pelecehan anak secara sintetik semuanya ilegal dan sangat berbahaya.
Menjaga Ruang Digital Tetap Aman
Dengan perkembangan AI yang semakin cepat, pemerintah menyadari bahwa langkah proteksi juga harus lebih gesit dan terarah. Kolaborasi antarinstansi, peningkatan kesadaran masyarakat, serta peraturan yang adaptif menjadi kunci dalam menanggulangi bahaya teknologi seperti deepfake.
Masyarakat pun diimbau untuk lebih bijak dalam menyikapi konten digital dan tidak mudah percaya pada informasi visual yang tersebar tanpa verifikasi. Perlindungan terhadap kelompok rentan serta penegakan hukum yang tegas. Menjadi fondasi utama menjaga ruang digital tetap aman, inklusif, dan manusiawi.
(ata)